PENGEMBANGAN MANAJEMEN KINERJA PERAWAT DAN BIDAN SEBAGAI STRATEGI DALAM
PENINGKATAN MUTU KLINIS
PERFORMANCE MANAGEMENT
DEVELOPMENT FOR NURSES AND MIDWIVES AS A NATIONAL STRATEGY FOR IMPROVING
QUALITY OF CLINICAL CARE
Tjahjono Kuntjoro
Balai Pelatihan Teknis Profesi Kesehatan,
Gombong
Jawa Tengah
ABSTRACT
Background: Pengembangan Manajemen Kinerja/PMK (Performance Management Development) becomes a national
strategy for improving quality of clinical care, especially for nursing and
midwivery care. As a strategy for improving clinical care quality, PMK
implementation are therefore, should be reviewed within the clinical governance
framework.
Objective: To
review the PMK implementation based on the clinical governance framework as a national strategy for improving
quality in clinical care either in hospital or puskesmas. Methods: Review the conceptual background of PMK, and the results
of the evaluation study of PMK
implementation in Magelang, Purworejo, and Cilacap districts, within the
clinical governance framework.
Result: Pengembangan
Manajemen Kinerja (PMK) is a
rapid and appropriate strategy for improving
quality of clinical care within a clinical governance framework in the clinical
care micro system when it is integrated in the existing quality system. Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) is very beneficial for the
nurses and midwives in improving their quality of care, even though the benefit for the patient has yet to be evaluated. Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) provides basic foundation
for the implementation of clinical governance when it is implemented based on the original model. Strong emphasis should
be given to the advocacy to stakeholders to get supports and commitment, and on
the followed up phase by planned and established coaching and monitoring
system.
Conclusion: As a national strategy for improving clinical care especially nursing
and midwivery care, PMK is a simple
and appropriate strategy for improving quality of clinical care, PMK can be
viewed as initial strategy for the implementation of clinical governance.
Keywords: clinical governance, performance management, clinical care, clinical
quality
PENGANTAR
Kinerja menjadi tolok ukur keberhasilan
pelayanan kesehatan yang menunjukkan akuntabilitas lembaga pelayanan dalam
kerangka tata pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang pelayanan dan
asuhan pasien (patient care)
merupakan bisnis utama, serta pelayanan keperawatan merupakan mainstream sepanjang kontinum asuhan.
Upaya untuk memperbaiki mutu
dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat melalui berbagai
bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali mutu, penerapan standar keperawatan,
pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, maupun audit keperawatan. Milestones upaya perbaikan mutu
pelayanan kesehatan di Indonesia diawali dengan uji coba penerapan gugus
kendali mutu di Rumah Sakit (RS) Karawang dan Bekasi pada tahun 1988.
Perkembangan
selanjutnya tercermin
dari penerapan berbagai pendekatan perbaikan mutu di Jawa Tengah yang dimulai
pada tahun 1990 dengan pelatihan dan penerapan gugus kendali mutu di RSUD Tidar
Magelang dan RSUD Purworejo. Total
Quality Management (TQM) mulai
diterapkan baik di rumah sakit maupun
dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas pada tahun 1994, dilanjutkan dengan
penerapan jaminan mutu (quality assurance)
di puskesmas, dan akreditasi RS untuk 5 pelayanan pada tahun 1997 yang
ditindaklanjuti dengan penerapan manajemen kinerja pada tahun 1998. Akreditasi
RS untuk 12 pelayanan diterapkan mulai tahun 2000, dan pada tahun 2004 mulai
diterapkan akreditasi puskesmas dan sistem manajemen mutu menurut ISO
9001:2000, serta audit klinis di RS.
Perbaikan mutu dan
profesionalisme pelayanan keperawatan dan kebidanan dimulai pada tahun 1989 dengan
diperkenalkannya proses keperawatan dan manajemen kebidanan yang diikuti dengan
pelatihan-pelatihan proses keperawatan dan manajemen kebidanan bagi perawat dan
bidan yang bekerja di RS maupun puskesmas. Sistem Pengembangan Manajemen dan
Kinerja Klinis (SPMKK) untuk perawat dan bidan mulai diperkenalkan oleh WHO
pada tahun 2001 di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian
diadopsi di tujuh provinsi yang lain dan akan dikembangkan di seluruh
Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 836/2005,
SPMKK yang kemudian berubah menjadi Pengembangan Manajemen Kinerja Perawatan
dan Bidan (PMK) menjadi kebijakan nasional untuk peningkatan mutu dan kinerja
pelayanan keperawatan baik di rumah sakit maupun di puskesmas
Mata rantai terdepan yang
perlu diperhatikan dalam perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah
pengalaman pasien dan masyarakat terhadap pelayanan yang mereka terima. Sistem
mikro merupakan mata rantai kedua yang berhadapan langsung dengan pasien dan masyarakat,
di samping mata rantai yang lain yaitu konteks organisasi dan konteks
lingkungan.1 Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) merupakan
pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang mendukung dan meningkatkan
kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara profesional dengan
memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Hal
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan melalui
kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi,
dan pembelajaran bersama.2
Sebagai strategi awal untuk
peningkatan kinerja pelayanan klinis dengan berfokus pada keperawatan dan
kebidanan yang dapat dikembangkan untuk pelayanan klinis yang lain, perlu
dikaji bagaimana implementasi PMK dalam kerangka kerja tata pengaturan klinis.
Tata Pengaturan Klinis (Clinical
Governance)
Tata
pengaturan klinis (clinical governance) adalah kerangka kerja yang menjamin
akuntabilitas organisasi pelayanan kesehatan melalui perbaikan mutu pelayanan yang
berkesinambungan, menciptakan lingkungan yang mendukung, dan menjamin
diterapkannya standar pelayanan yang optimum dalam pelayanan klinis. Penerapan
tata pengaturan klinis mengikuti beberapa aturan dasar, yaitu: tata pengaturan
klinis harus menjadi mainstream dalam pelayanan, proses perubahan yang
dilakukan bersifat evolusional bukan revolusi, mengembangkan kerja tim dan
kepemimpinan, mengembangkan prinsip kerja sama dan kemitraan, kemajuan dipantau
secara rutin melalui indikator-indikator yang jelas, optimalisasi pemanfaatan
sumber daya yang tersedia, dan menjamin diterapkannya aturan dasar perbaikan
sistem pelayanan klinis.
Pelayanan
klinis perlu dilandasi hubungan yang harmonis antara pasien dan praktisi
klinis, penyesuaian-penyesuaian perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan
tata nilai pasien yang menjadi sumber pengendali asuhan. Selanjutnya
pengambilan keputusan dan penyusunan standar pelayanan yang berbasis evidens,
keamanan pasien, arus informasi yang tanpa hambatan, keterbukaan, kerja sama antarpraktisi
klinis, dan efisiensi dalam pelayanan merupakan aturanaturan dasar dalam
perbaikan mutu pelayanan klinis.
Dalam
penerapannya tata pengaturan klinis memiliki struktur yang terdiri dari:
efektivitas klinis, audit klinis, regulasi tenaga profesi secara mandiri,
pengembangan profesi yang berkesinambungan, manajemen risiko, pengembangan
sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, manajemen informasi dan
pengetahuan, penanganan keluhan, kerja tim, serta keterlibatan pelanggan.
Efektivitas klinis menunjukkan sejauh mana
perlakuan klinis yang spesifik ketika diterapkan di tempat pelayanan untuk
mencapai hasil yang diharapkan yaitu dengan memelihara dan meningkatkan status
kesehatan dan memperoleh manfaat kesehatan seoptimal mungkin dengan keterbatasan
sumber daya yang tersedia, serta ketersediaan bukti klinis yang terbaik dan
terkini (best available evidence). Manfaat tersebut ditunjukkan dengan tingkat
keberhasilan perlakuan dan efektivitas biaya. Peningkatan efektivitas klinis
tersebut merupakan indikator keberhasilan penerapan tata pengaturan klinis.
Analisis
secara kritis dan sistematis terhadap mutu pelayanan klinis mulai dari prosedur
diagnosis, terapi, penggunaan sumber daya untuk mencapai luaran klinis yang
diharapkan dilakukan dalam kegiatan audit klinis. Audit klinis merupakan
struktur penting dalam tata pengaturan klinis sebagai dasar untuk mengenal
permasalahan pada sistem pelayanan klinis, mencari peluang melakukan perbaikan,
dan melakukan tindakan perbaikan terhadap sistem yang ada.
Penerapan
tata pengaturan klinis sangat tergantung pada ketersediaan dan profesionalisme
sumber daya manusia yang menjadi pelaku kegiatan pelayanan klinis, yang dapat
terwujud melalui mekanisme regulasi yang tepat dan pengembangan
profesionalisme, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan klinis
berkelanjutan.
Mutu
pelayanan tidak hanya tergantung pada pelayanan klinis yang memenuhi standar
profesi, tetapi juga pelayanan yang berfokus pada pelanggan. Oleh karena itu,
keterlibatan pasien sebagai pengguna pelayanan sekaligus pengambil keputusan
perlu mendapat perhatian dalam penerapan tata pengaturan klinis. Penyedia
pelayanan perlu mengembangkan mekanisme untuk mengenal kebutuhan dan harapan
pasien maupun mekanisme untuk menerima keluhan dan komplain untuk
dipertimbangkan dalam penyusunan desain pelayanan, standar pelayanan, maupun
pengambilan keputusan klinis.
Dengan maraknya tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan akan diberlakukannya Undang-Undang Praktik
Kedokteran No. 29/2004, perlu dipertimbangkan diterapkannya manajemen risiko
dalam penyelenggaraan pelayanan klinis dengan diterapkannya manajemen risiko
sebagai salah satu struktur yang harus ada dalam tata pengaturan klinis melalui
proses pengenalan, kajian, dan pencarian jalan keluar untuk mencegah terjadinya
risiko dan adverse events, maka akan memberikan perlindungan bagi pasien dan
praktisi klinis.
Kerja
tim merupakan struktur tata pengaturan klinis yang tidak dapat diabaikan dan
menjadi landasan keberhasilan peningkatan mutu klinis. Hal tersebut mengingat
kompleksitas pelayanan kesehatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu
kesehatan di semua strata pelayanan.
Keseluruhan
struktur yang ada dalam tata pengaturan klinis akan berfungsi dengan baik jika
didukung oleh sistem informasi dan manajemen pengetahuan (knowledge management)
yang memadai. Tersedianya sistem informasi tersebut akan memberikan kemudahan
bagi pasien dan praktisi klinis untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Dengan
adanya sistem informasi yang tertata dengan baik dan secara reguler dapat
menyajikan bukti-bukti klinis terkini yang mendukung proses pengambilan
keputusan klinis, maupun kegiatankegiatan penelitian klinis yang dilakukan di
tempat kerja. Hal tersebut akan sangat bermanfaat dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) dalam Kerangka Tata Pengaturan
Klinis (Clinical Governance)
Struktur dasar PMK meliputi5:
kejelasan tanggung jawab (responsibility),
uraian kerja (job description), standar profesi (professional standards), standar
organisasi (organizational standards),
akuntabilitas (accountability),
proses pembelajaran melalui diskusi kasus reflektif (reflective case discussion), dan pelatihan keterampilan manajerial
(managerial skills training).
Profesionalisme sumber daya manusia merupakan struktur dasar tata pengaturan
klinis pada PMK yang diawali dengan kejelasan tanggung jawab dan uraian kerja.
Adanya kejelasan tanggung jawab perawat dan bidan, serta uraian kerja yang
disusun pada awal penerapan PMK merupakan landasan bagi perawat dan bidan untuk
melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan mereka.
Standar pelayanan disusun oleh
perawat dan bidan berdasarkan standar profesi yang tersedia dan dijadikan
pedoman pelaksanaan kerja dalam organisasi pelayanan kesehatan. Adanya standar
yang menjadi pedoman asuhan pelayanan menjamin tindakan dan keputusan klinis
yang dilakukan oleh perawat dan bidan agar dapat dipertanggungjawabkan secara
profesional.
Meskipun audit klinis tidak
dikerjakan dalam pendekatan PMK, indikator kinerja disusun dan dikembangkan,
serta menjadi dasar akuntabilitas profesi dalam melaksanakan asuhan pasien.
Penilaian pelayanan berdasar indikator tersebut secara periodik dikumpulkan dan
dikaji sebagai dasar untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam tata kelola
klinis keperawatan dan kebidanan.
Proses
pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi dan perbaikan mutu asuhan dilakukan
melalui diskusi kasus reflektif. Kasus dipilih bersama dalam tim untuk dibahas
dan dikaji. Luaran dari diskusi kasus reflektif bukan mencari kesalahan, tetapi
belajar dari kasus dan mencari peluang perbaikan, sehingga dapat mencegah
kesalahan atau masalah yang sama.
Struktur
dasar PMK merupakan titik-titik kritis dalam pelayanan klinis keperawatan dan
kebidanan yang menentukan profesionalisme dan efektivitas asuhan. Dengan
dibangunnya struktur dasar tersebut akan terbina hubungan harmonis perawat atau
bidan dengan pasien karena adanya kejelasan tanggung jawab dan uraian kerja.
Efektivitas klinis diupayakan melalui penerapan standar profesi dan
pengembangan profesionalisme perawat dan bidan melalui pelatihan keterampilan
manajerial dan diskusi kasus reflektif. Meskipun audit klinis bukan merupakan
struktur dari PMK, pelaksanaan diskusi kasus reflektif dan indikator klinis
yang disepakati, serta digunakan untuk monitoring pelayanan menjadi cermin
akuntabilitas asuhan dan menjadi dasar dalam menentukan sasaran perbaikan yang
dapat menggantikan fungsi audit klinis.
Implementasi Pengembangan Manajemen Klinis (PMK) sebagai Strategi
Peningkatan Mutu Klinis
Penerapan pengembangan manajemen klinis harusnya
mengikuti dengan cermat langkah-langkah yang ada dalam pedoman, mulai tahapan
persiapan, pelaksanaan, sampai pada pembimbingan, pemantauan, dan evaluasi,
agar didapat hasil yang maksimal.
Dari hasil evaluasi
pada contoh kasus tersebut ditemukan beberapa hambatan seperti, lemahnya
mekanisme monitoring kegiatan, sulitnya memahami modul pelatihan, keterbatasan
dana, belum dilibatkannya dokter, kurangnya sosialisasi internal, kurangnya
komitmen, dan belum terintegrasinya kegiatan pmk dalam kegiatan jaminan mutu.
Penerapan pengembangan
manajemen klinis sangatlah penting. Dengan adanya penerapan pmk, petugas atau
pekerja jadi tau secara jelas apa saja tugas mereka, apa saja yang harus
dikerjakan, sampai dimana batasan kewenangan mereka, serta tanggung jawab
mereka sebagai pekerja klinis. Dengan adanya penerapan pmk pula kita dapat
meningkatkan disiplin kerja, pengetahuan tentang kinerja klinis, dorongan untuk
nelajar dan bekerja sesuai standar.
Dengan adanya proses
pembelajarn melalui penerapan pmk, para petugas juga akan mengubah cara pandang
dalam memberikan pelayanan kepada pasien, mengupayakan yang terbaik, serta
mencegah terjadinya kesalahan.
KESIMPULAN
Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) merupakan
pendekatan yang tepat sebagai jalan masuk diterapkannya tata pengaturan klinis
(clinical governance) baik di RS maupun di puskesmas. Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) mempunyai struktur yang
merupakan peletakan dasar pertama dalam pengembangan tata pengaturan klinis.
Advokasi dan komitmen stakeholders dan pelaksana,
kepemimpinan, kegiatan pembinaan dan pemantauan, menjadi kunci keberhasilan
pelaksanaan PMK. Penerapan PMK mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan,
evaluasi, dan roll out ke tempat pelayanan yang lain atau
profesi yang lain sangat tergantung
pada dukungan stakeholders di dalam
dan di luar organisasi pelayanan.
Proses pelaksanaan yang meliputi penerapan standar profesi, bekerja sesuai
dengan uraian kerja, kompetensi dan tanggung jawab, serta pelaksanaan diskusi
kasus reflektif. Pada tahap awal memerlukan pembinaan dan pemantauan yang
berkesinambungan, dan merupakan struktur dasar untuk dikembangkan dalam
kerangka tata pengaturan klinis yang terintegrasi.
Dengan peningkatan mutu asuhan
klinis oleh perawat dan bidan melalui PMK yang kemudian dikembangkan untuk
praktisi klinis yang lain dalam suatu tatanan yang terpadu akan lebih menjamin
tersedianya pelayanan kesehatan yang profesional bagi masyarakat.
KEPUSTAKAAN
1. Berwick, D. The Chain of Effect in Improving Health Care Quality, paper
presented at Asia Pacific Forum on Quality Improvement in Health Care. Sidney.
September 2001.
2. WHO. Implementasi Sistem pengembangan Manajemen Kinerja Klinik untuk
Perawat dan Bidan di Rumah Sakit dan Puskesmas. WHO-SEA-Nurs-429, Mei. 2002.
3. Swage, T. Clinical Governance in Health Care Practice.
Butterworth-Heinemann. 2000. Oxford.
4. Wright, J., Hill, P. Clinical Governance, Churchil and Livingstone,
2003;1:19-35
5. Dewsbury, C. Making sense of clinical governance, The Pharmaceutical
Journal. 2001;267(December 15).
6. WHO. The Steps to Implement the Clinical Performance Development
Management System to nurse and midwife in Hospital and Health Center, WHO-MOH,
May 2004.
7. CHSM-WHO. Progress Report: Improving Quality of the CPDMS
implementation, CHSM-WHO, Yogyakarta. 2005a.
8. CHSM-WHO. Progress Report: The Implementation of CPDMS for Infection
Control Program in the hospital, CHSM-WHO. Yogyakarta. 2005b.
SUMBER :
T
Kuntjoro - Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 2005 -
journal.ugm.ac.id
Nama Kelompok : Almi Trisna Ningtiaz (1B117051)
Dwi Aristiya D (1B117071)
Suci
Diana Putri (1B117079)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar